Archive

Uncategorized

Ini tulisan dari teman kuliah saya, Tatum Syarifah Adiningrum. Enjoy!

===================

Satu lagi istilah filosofis dari si Mas, setelah menelurkan hukum “kekekalan rejeki”, yaitu SINGA alias Si Nggak Mau Rugi. Sebenernya sih abbreviation nya nggak segitu nayambung, tapi pas banget kalau dipake buat ngegosip di depan publik 🙂

 

Istilah ini sebenarnya sudah diperkenalkan si Mas jaman kami pacaran, some 13 years ago (buset, lama ya???). Tapi baru-baru ini muncul kembali seiring kembalinya kegemaran kami makan buffet, hobi jaman umur 20 an dulu, ketika metabolisme masih dahsyat. Selama setengah tahun terakhir, beberapa kali kami mengunjungi restoran-restoran buffet macam Hartz Chicken, Hanamasa, pun menikmati buffe breakfast ketika liburan di hotel. Dan kami pun kembali bertemu dengan para SINGA.

 

Singa-singa ini punya gaya yang sama: mondar-mandir antara meja pribadi dengan meja hidangan dengan isi piring munjung. Apakah temans pernah melihat gaya ngambil salad di Pizza Hut yang bisa sampe 4 layer, dan saos thousand islandnya netes-netes di pinggir? Nah, itulah salah satu pemandangan tipikal manusia singa dalam menghadapi buffet. Gaya yang paling cocok ketika masih pada mahasiswa, duit saku ngepres, tapi maunya makan rame-rame di tempat keren…. Tapi rasanya nggak lagi cocok di saat usia sudah bertambah, mampu makan sekeluarga di tempat keren yang melambangkan tingkat kemapanan yang sudah bertambah.

 

Alkisah, di salah satu weekend, kami sekeluarga menginap di salah satu hotel di Lembang, dengan hidangan sarapan buffet yang lumayan variasi dan rasanya. Mata saya rada melotot melihat seorang Ibu, yang kira-kira usianya nggak jauh beda dengan Ibu saya, membawa piring penuh kue-kue dan pastry. Sepiring penuh! (piring makan, bukan piring lepek) dan di meja beliau saya lihat hanya ada Ibu itu dan suaminya. Nggak berapa lama lewat seorang Ibu muda membawa sepiring penuh sosis, at least dalam piring itu ada 20 potong sosis. Saya lihat situasi mejanya, hanya ada suami dan dua orang anak kecil. Memandang meja kami yang minimalis, 2 dewasa dan 2 anak, dengan sepiring nasi goreng di depan masing-masing orang dewasa dan sepotong roti bakar di depan tiap-tiap anak, saya jadi agak-agak malu dan merasa tertantang…. Maka pergilah saya ke meja buffet dan mengambil 4 buah kue berukuran mungil. Itu aja perut saya udah penuuuuhh…. dan sepotong kue bersisa tak termakan. Laah…. gimana dengan ibu-ibu yang tadi yaaaahhh???

 

Di suatu hari Minggu, di hari ulang tahun saya, the Krucils dan bapaknya minta ditraktir di restoran Chicken buffet. Walaupun males, karena kebayang pasti penuh dengan para pengunjung yang pulang dari gereja, saya turuti sajalah, biar pada seneng. Beneran aja, restoran itu penuuuhhh…. penuh dengan singa-singa yang dari segala kelompok usia. Ada yang makan sampe muntah lah (sueeerrrr), ada yang sisa makanan menumpuk di meja, dan jangan tanya antrian es krimnya….. Tidak lagi menggunakan sendok es krim yang cuma satu dan harus bergantian, tapi para anak-anak kecil (fully supported by their parents), merubung bak es krim dengan menggunakan sendok masing-masing mengais-ngais es krim tersebut. Sungguh, saya serasa ada di antrian RasKin atau BLT aja. Jangan tanya pula keadaan porsi topping yang disediakan untuk es krim tersebut…. Ada yang satu mangkok es krim mengambil 4 macam topping secara excessive, ada yang cuma satu aja tapi hampir menghabiskan semua porsi topping. Pokoknya, tidak ada lagi azas kepantasan, yang ada cuma SINGA….

 

Keadaan yang sama saya jumpai di tempat-tempat buffe yang lain. Tak peduli apakah tempatnya elit, menengah, atau setara warung kos, SINGA selalu menunjukkan taring. Mungkin memang sudah menjadi adat di negara tercinta ini untuk menjadi SINGA di saat bisa, termasuk SINGA kekuasaan – mumpung berkuasa, lalu korupsi, kan masa jabatan cuma 5 tahun dan belum tentu terpilih lagi. Jadi, jangan heran dengan kebobrokan negeri kita sekarang ini, karena pada dasarnya, bukan penguasa bukan rakyat, semuanya telah jadi SINGA…alias si nggak mau rugi….

 

Bagi sebagian orang, nudist beach dan naturist beach dianggap sama. Tidak terlalu salah juga pendapat seperti ini, karena karakteristik utama kedua jenis pantai itu sama: para pengunjungnya sama-sama tidak berpakaian. Clothing optional, istilah sopannya. Namun bagi kelompok hardcore di masing-masing pihak, nudist beach dan naturist beach BENAR-BENAR BERBEDA (hehehehe, alay dikit pakai huruf kapital). Nudist beach adalah pantai bagi kaum nudist (nudis) alias penghobi telanjang. Kalau saja tak ada norma dan peraturan formal yang menganggap ketelanjangan di depan publik sebagai pelanggaran, mereka mungkin akan memilih tak berpakaian. Ke kantor, ke pasar, jogging, mereka akan pilih melakukannya tanpa berpakaian. Sementara, kaum naturist merasa kelompok mereka lebih filosofis. Ketelanjangan mereka sebut sebagai fitrah dan upaya untuk lebih menyatu dengan alam. Mereka, biasanya, memiliki norma yang lebih ketat dibanding kaum nudist. Ketelanjangan dipandang sebagai upaya mulia untuk menikmati, menghargai, dan melindungi alam. Karena itu, aktivitas seks secara eksplisit di depan umum mereka larang. Sebagian di antara mereka menuding kaum nudist tak terlalu peduli pada norma ini.

Bila keterangan saya di atas salah, atau ada bagian yang kurang tepat, tolong dimaafkan. Maklum, saya bukan anggota keduanya, baik nudist maupun naturist. Alinea di atas hanyalah preambule untuk menceritakan pengalaman saya melongok sebuah naturist beach di Inggris, tepatnya di kota Brighton, dua tahun lalu.

Sebagai mahasiswa dari sebuah negara yang kurang bersahabat dengan ketelanjangan di depan umum, tentu saya tertarik untuk menyaksikan rupa sebuah “pantai telanjang”. Apalagi sudah jauh-jauh ke Inggris, masak iya tidak meresapi setiap keping kehidupan masyarakatnya yang beragam? Dan sebagai wartawan, sungguh aneh bila puas dengan hanya membaca tanpa mem-verifikasi-nya secara langsung di lapangan.

Maka, di antara sekian banyak kota di Inggris, Brighton masuk ke dalam daftar saya. Apalagi, waktu itu National Express, salah satu dari hanya 2 operator bus jarak jauh di Inggris, sedang promo buy one get one free. Dengan membeli tiket ke Brighton yang murah (maklum, hanya 2 jam dari London), saya dapat tiket gratis ke Edinburgh (Skotlandia, 9 jam dari London). Asyik punya, kan?

Tiba di Brighton, hal menarik pertama tentu adalah terminal bus-nya. Bukan karena terlampau mewah, namun karena saking sederhananya. Ini terminal atau cuma sepetak tanah kosong, sih? Ya, yang dimaksud dengan terminal di Brighton hanyalah sepetak tanah yang cukup diisi 3 atau 4 bus saja. Tanpa peron, tanpa apa pun. Termasuk, tanpa calo. Sebagian besar warga yang ingin bepergian memang membeli tiketnya secara online, jadi konter tiket pun tidak betul-betul dibutuhkan.

Lepas dari “terminal”, saya masuk ke Brighton Pier. Ini adalah dermaga buatan yang menjorok ke laut, diisi dengan beragam wahana permainan (Dufan di Ancol jauh lebih lengkap) serta kios jajanan dan suvenir. Bagi saya sih nggak ada yang terlalu menarik di sini, kecuali hidangan-hidangan fresh dari laut (baca: aneka sajian ikan-ikan mentah). Saya tak pernah makan ikan mentah. Sushi dan sashimi adalah dua menu Jepang yang tidak pernah saya makan karena bahannya mentah. Tapi kali itu saya nekat. Saya beli satu cup kerang dan udang mentah. Ikut para pembeli sebelumnya, saya pun mengucuri seafood itu dengan perasan air lemon (saya banyakin, khawatir bau dan rasa amisnya masih terasa) dan mayones warna jingga. Simsalabim… ternyata udang dan kerang itu sama sekali tidak baud an berasa amis. Kucuran air lemon dan mayones jingga menjadi paduan yang klop, nyaris sempurna. Makanan mentah itu jadi terasa gurih, manis (dari udang), segar. Maknyus! Saya tidak menyesal membelinya meski harganya 2 kali lipat harga menu sarapan pagi lengkap di Subway.

Setelah menyantap makanan mentah untuk pertama kalinya, saya pun terus bergerak menyusuri garis pantai. Pantainya biasa banget. Jauuuuuuh dari mempesona. Pantai di Bali, Lombok, bahkan di Pulau Gili dekat Bawean, Jatim, jauh lebih indah. Karena saya datangnya masih agak pagi, sekitar pukul 11.00, air laut masih agak pasang. Bagian pantai yang berpasir masih tertutup air laut, yang tersisa hanya bagian yang berbatu-batu seukuran jempol hingga sekepalan tangan pria dewasa (tangan saya, maksudnya). Berjalan di sini tidak bisa cepat karena kaki kita sering “terperangkap” dalam batu-batu tersebut yang selalu berubah formasi tiap kali kita bergerak. Mirip-mirip mandi bola.

Berjalan belum lama, ada yang agak aneh di depan saya. Pantai yang tadinya landai, berubah memiliki gundukan. Gundukannya cukup tinggi, lebih tinggi dari badan saya, karena itu saya tak bisa melihat ada apa di baliknya. Maka, langkah saya percepat dan saya daki gundukan itu. Kalau tak ingin mendaki, berjalanlah ke balik gundukan dari arah bibir pantai. Di lereng gundukan itu ada papan petunjuk warna hijau. Petunjuknya sangat berharga: bahwa di balik gundukan itulah zona yang disebut Brighton and Hove Naturist Beach. Aha! Di papan itu terdapat peringatan, barangsiapa yang menganggap ketelanjangan mengganggunya, jangan masuk ke zona itu. Biasanya, ketelanjangan di depan umum mengganggu saya. Misalnya, orang gila yang melenggang telanjang dengan santai di tengah keramaian. Itu mengganggu saya. Apalagi bila orgil-nya pria. Kan saya ikut malu? Namun saat itu, di Brighton, justru saya ingin melihat dengan mata kepala sendiri seperti apa sih pantai tanpa busana? Tuhan maafkan, saya hanya curious.

Saat di dalam zona, sayalah yang kikuk. Maklum, pakaian saya lengkap: celana panjang, kaos, mantel ber-hoodie, plus topi dan ransel. Yah… ternyata yang berjemur dikit, gak sampai jumlah jari di tangan kiri saya. Penonton kecewa….. Ya iyalah, saya ke Brighton pada bulan Maret, masih pergantian antara mjusim dingin dan mjusim semi. Sinar matahari belum benar-benar kuat. Angin masih dingin (karena itu saya pakai mantel ber-hoodie). Saya kagum dengan orang-orang yang berjemur telanjang itu. Saya yang pakai mantel saja dingin, lha kok mereka gak pakai apa-apa sama sekali? Edan, heehehe.

Setelah mewawancarai salah satu di antara mereka –tenang, cuman kakek-kakek—saya pun berlalu. Daripada dianggap tukang intip?

Jare arek Suroboyo: oalah, ngono thok! Maka saya pun segera naik ke jalan raya di tepi pantai, menikmati atraksi dan mencermati aneka asesori mobil-mobil Mini Cooper yang hari itu para pemiliknya sedang menggelar gathering. (Achmad Supardi)

Kalau orang Surabaya berkata, “Mau ke Tugu Pahlawan”, maka ada dua kemungkinan. Pertama, kompleks Tugu Pahlawan itu sendiri yang terdiri dari Tugu Pahlawan (tentu saja), museum perjuangan (berisi diorama pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan artefak perjuangan lainnya), juga lapangan luas yang bisa dipakai untguk olahraga, mulai dari bulu tangkis hingga sepakbola. Ada juga taman yang… tahu sendirilah, cukup sering dipakai untuk pacaran. Kemungkinan yang kedua, orang itu merujuk kepada pasar pagi yang jam 10.00 sudah harus bubar. Di pasar pagi tersebut kita bisa membeli perabot dapur, pakaian, alat tulis, buku teks, alat olahraga, obat kuat, hingga beragam penganan. Mana pun yang dimaksud, keduanya sama-sama menyenangkan.

Panen Terakhir8

Seorang wanita petani memanen padi miliknya. Bisa jadi, kemarau mendatang, sawahnya mendapat giliran untuk diuruk, ditanami perumahan dan pabrik. (Pictures taken on 29 December 2012 by Khoirul Umam — Khoirul.Umam@Mattel.com, khoirulpret@yahoo.com)

Minggu pagi setelah hujan rintik semalaman. Segar. Matahari juga tidak terlalu garang. Kukayuh sepeda ke Graha Asri. Mampir beli gudeg Jogja “rasa Cikarang” agar perut berhenti protes. Beberapa menit kemudian sudah kutempati pojokan favoritku: sebuah dangau di depan SD Rabbaani yang menghadap ke beberapa petak kecil sawah. Pesawahan sempit itu dipagari perumahan dan pabrik, juga lahan luas yang sedang diurug. Ya, diurug buat apalagi kalau bukan pabrik-pabrik baru. Ada sedih menyelinap kala menyadari bahwa sekotak kecil surga hijau ini pun akan segera menemui ajalnya, berubah menjadi perumahan dan pabrik kesekian.

                “Tanah pesawahan ini juga sudah punya pengembang. Tinggal tunggu giliran saja untuk dibangun,” kata seorang petani yang duduk bersamaku di dangau itu. Ah bukan, dia bukan petani. Lelaki berputra dua itu adalah mantan petani yang terpaksa menjual 3 petak kecil sawahnya tahun 1994 lalu.

“Saya hanya punya sawah sempit, sulit untuk menolak tawaran untuk menjualnya. Apalagi petugas (pejabat desa, Pen.) selalu meng-ojok-ojoki kami agar menjual sawah kami ke pengembang. Bukannya menyadarkan kami agar mempertahankan tanah itu karena nantinya harganya akan mahal, mereka malah terus mendesak kami agar menjual tanah kami. Harganya waktu itu hanya Rp 10.000 per meter persegi,” katanya, mengingat sebuah keputusan yang sepertinya ia sesali. Kini, tanah di perumahan bekas sawahnya itu sudah dihargai Rp 500-750 ribu per meter persegi. Sebuah angka yang membuat penyesalan lelaki di depanku makin mengental saja.

Lelaki, yang terlupa kutanya namanya, kini merenungi nasibnya.  “Saya sempat jadi tukang ojek. Tapi tahun segitu, perumahan masih sepi, jalan bergelombang dan berbatu. Narik seminggu saja sudah turun berok. Perut sakit, tak enak makan,” katanya.

Tiga tahun lalu, ketika SD Rabbaani belum banyak dikenal, dia diterima menjadi satpam di situ. Bukan pekerjaan ideal, bukan pula posisi yang menjanjikan pemasukan lumayan. Namun, ini diterimanya sebagai berkah. “Sekarang, untuk jadi satpam saja harus SMA. Lha saya sendiri cuma lulusan SD. Saya diterima karena waktu itu sekolah ini masih baru, masih butuh pegawai,” katanya. Syukur dan galau bercampur dalam nada suaranya.

Di antara padi yang mulai menguning bulirnya dan burung berbulu putih-hitam yang mencuri-curi kesempatan, dia menghela napasnya. “Di sekeliling rumah saya sekarang adalah pabrik-pabrik. Di situ (tangannya menunjuk bekas pesawahan yang sekarang sedang diuruk) katanya akan dibangun 30 pabrik. Saya bingung memikirkan nasib saya sendiri. Pabrik-pabrik dibangun, orang-orang berdatangan dari banyak daerah, tapi saya hanya bisa menonton saja. Ikut kerja di sana (calon pabrik-pabrik baru,Pen.) belum tentu diterima. Saya terkendala usia dan ijazah,” ujarnya.

Matanya kembali menatap pesawahan sempit di depan kami. Pesawahan yang, bisa jadi, akan lenyap musim kemarau ini. (Achmad Supardi)

Kawah Putih or "The White Crater" is located on Mount Patuha, at the southern tip of Bandung, West Java, Indonesia. Its pale greenish lake is awesome. You might want to visit Mount Tangkuban Parahu, some hot springs (well, we have plenty of them), tea plantation, and many others. Bandung is also a paradise for those who fancy to hunt delicious foods and gifts in affordable prices. Come visit it. Ask me for more detailed info.

I long again when the first rain comes

the yard sends the news of the past

at the dew which sculpts the window, I found Chairil reported:

the age shaken suddenly!

I long again

At the dark clouds and line of trees on a flat land

at the wind, the rustling leaves which confronts  river

at th children who swim at streams

they laughed heartily and pointed their index:

to the future

to the time limit

to the horizon and hope

I long again

the cold wind proclaims

the globe spins

then at the leaves soaked by the rain

there is a map

without address

There is a name:

unlisted

Seorang kawan memasang foto –tepatnya kartun– yang lucu di wall Facebook-nya. Foto itu menunjukkan gambar kaca belakang sebuah mobil yang dipenuhi dengan stiker. Ada stiker sejumlah tempat wisata, sekolah dan universitas yang pernah ditempati, mall yang pernah didatangi, produk yang dimiliki, dan bahkan stiker kepolisian dan TNI. Well, tentu Anda juga sering melihat mobil yang kaca belakangnya penuh stiker seperti itu, bukan? Yang lebih menggelitik, teman saya itu dengan nada bercanda menulis di wall-nya: Kenapa mobilnya harus Toyota Avanza, sih?
Ya, teman saya itu merasa tersindir. Dia adalah pemilik mobil Toyota Avanza. Dalam benaknya, apakah pemilik Toyota Avanza (termasuk dirinya) senarsis itu? Apakah pemilik Toyota Avanza adalah kelompok masyarakat yang begitu desperate dalam mencari pengakuan atas status sosial hingga harus memajang semua bukti “prestasi”-nya di kaca belakang mobil mereka?
Saya bukan pembuat kartun tersebut, juga bukan kawan dekatnya. Jadi, saya tidak tahu apakah si pembuat kartun hanya kebetulan memilih mobil Toyota Avanza sebagai model (karena mudah digambar, mungkin?), ataukah karena dia adalah salah satu pemilik Avanza (menyindiri diri sendiri?), ataukah karena memang mobil yang kaca belakangnya “paling penuh stiker” adalah si “kembaran”-nya Xenia itu.
Namun bagaimana pun, tetap menarik membincangkan tema ini karena ia adalah cermin masyarakat.
Di Indonesia, mobil masih merupakan lambang status. Maklum, dari 240-an juta warga negeri kepulauan ini, masih kecil sekali persentase mereka yang memiliki mobil. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hingga 2010 terdapat total 15.828.939 unit mobil yang dimiliki warga Indonesia. Angka ini sudah termasuk bus, truk, dan semua jenis kendaraan niaga. Perlu diingat, mereka yang bisa membeli mobil, biasanya tak puas hanya beli satu unit. Sebuah keluarga bisa memiliki lebih dari 3 mobil. Jadi, bisa dibayangkan betapa sedikitnya jumlah warga negara Indonesia yang memiliki mobil. Karena kebanyakan warga tak bisa membeli mobil, maka mereka yang memiliki kendaraan roda empat ini pun status sosialnya terangkat.
Seperti diakui produsennya sendiri (baca http://www.astra-toyota.com/2012/04/mobil-mobil-terlaris-di-indonesia-2012.html), Avanza adalah varian dengan tingkat penjualan tertinggi. Bukan hanya tahun 2012 ini, namun sejak pertama kali ia diluncurkan. Selain banyak faktor lain yang turut menentukan, Avanza menjadi mobil terlaris tentu tak lepas dari harganya yang relatif terjangkau. Artinya, sori-sori kata, mereka yang uang lebihnya tak terlalu banyak, akan cenderung memilih beli Avanza. Yah, daripada harus numpuk sepeda motor atau nabung lagi untuk dapat sedan?
Artinya, mereka yang membeli Avanza sebagai mobil pertamanya, bisa jadi adalah kelompok yang baru saja “naik kelas”. Mereka baru saja diwisuda, dari warga “biasa” menjadi anggota “orang kaya”. Hanya saja, mereka ada di level (maaf) “terendah” dari kelompok barunya ini. Mereka yang baru saja masuk ke lingkar sosial yang lebih tinggi, biasanya memiliki kekhawatiran bahwa orang lain tak mengakuinya di kelasnya yang baru. Mereka selalu “galau” bahwa dirinya akan tetap dipandang sebagai bagian dari kelas sosial yang lebih rendah dari mana mereka merasal. Ini bukan asumsi saya, tapi kesimpulan sebuah studi akademis yang diakukan antropolog Inggris,  Kate Fox (silakan kenali dirinya lebih dekat melalui http://www.sirc.org/about/kate_fox.html). Selama 10 tahun Fox meneliti masyarakatnya sendiri, orang Inggris, untuk melihat bagaimana bangsa ini berperilaku. Salah satu kesimpuannya, orang yang baru masuk ke suatu kelas tertentu biasanya akan merasa “insecure”. Karena itu, mereka cenderung melakukan upaya-upaya tambahan untuk memperkuat pengakuan atas status sosialnya yang baru tersebut. Dalam kalimat yang lebih gamblang, mereka adalah orang kaya baru yang “belum sepenuhnya aman” dalam menyandang predikat tersebut. Karena itu, mereka perlu menunjukkan “bukti-bukti lain” yang bisa memperkuat posisi mereka sebagai “orang kaya”. Dalam konteks bahasan kita, memamerkan tempat wisata yang pernah mereka kunjungi, perguruan tinggi atau sekolah hebat yang pernah mereka masuki, atau produk bergengsi yang mereka beli di kaca belakang mobil adalah salah satu upaya untuk memperkuat posisi sebagai “orang kaya” tersebut.
Kenapa mereka yang memiliki Ferrari atau Porcshe, atau katakanlah sesama Toyota tapi Vellfire, tidak banyak memajang stiker di kaca belakang mobilnya? Jawabannya gamblang sekali: pemilik mobil-mobil itu sudah jelas kaya. Mereka, merujuk kepada Fox lagi, adalah orang-orang yang sudah sedemikian aman di dalam tingkat sosial mereka.
Lantas, apa beda orang kaya yang “secure” di dalam tingkat sosialnya dan orang kaya baru yang masih “insecure”?
Bila pemilik Avanza makan di warteg, dia akan dibilang “ngirit”. Kalau pemilik Vellfire yang makan di warteg, mereka akan disebut “rindu masakan tradisional yang lama tak dijamahnya”.
Kalau pemilik Avanza pakai sandal jepit butut, dia akan digunjing: “paling cicilan mobilnya juga belum lunas”. Kalau pemilik Ferrari yang pakai sandal jepit butut, dia akan disebut “nyentrik”.
Kalau bagian dalam Avanza penuh barang dan pakaian hingga terlihat tidak rapi, pemiliknya akan dituding “jorok”. Bila Porsche yang bagian dalamnya tidak rapi, pemiliknya akandimaklumi sebagai orang “sibuk”.
Kita, manusia, memang makhluk yang selalu sibuk berasumsi dan menilai. Di Inggris, seperti dikatakan Fox, tindik (piercing) adalah juga lambang status sosial. Mereka yang bertindik di lidah, sudah pasti berasal (atau setidaknya dicap) dari lower class, atau lebih parah lagi: working class. Tapi, bukanlah Princess Zara (cucu Ratu Elizabeth II dari Putri Anne) dan Mel B, mantan personel Spice Girls juga memiliki tindik di lidah? Apakah keduanya termasuk working class? Tentu tidak. Keduanya hanya disebut, well, nyentrik. Dunia memang tak adil, bukan? 🙂
Ya, mobil memang sarana bagi sebagian manusia untuk menyiarkan status sosialnya.  Mobil, bagi manusia lainnya, adalah sarana untuk menancapkan stigma, asumsi, dan labelisasi. Tapi, tentu Anda tak perlu mencopoti stiker-stiker yang telanjur tertempel di belakang Avanza –atau merek mobil apapun– milik Anda setelah membaca artikel ini. Biarkan orang lain sibuk berasumsi, yang penting Anda menempelkan stiker di mobil Anda sendiri. Kalau nempel stiker di mobil orang lain, itu lancang namanya, hahaha. (*)