Archive

Tag Archives: status sosial

Image

Seorang kawan memasang foto –tepatnya kartun– yang lucu di wall Facebook-nya. Foto itu menunjukkan gambar kaca belakang sebuah mobil yang dipenuhi dengan stiker. Ada stiker sejumlah tempat wisata, sekolah dan universitas yang pernah ditempati, mall yang pernah didatangi, produk yang dimiliki, dan bahkan stiker kepolisian dan TNI. Well, tentu Anda juga sering melihat mobil yang kaca belakangnya penuh stiker seperti itu, bukan? Yang lebih menggelitik, teman saya itu dengan nada bercanda menulis di wall-nya: Kenapa mobilnya harus Toyota Avanza, sih?
Ya, teman saya itu merasa tersindir. Dia adalah pemilik mobil Toyota Avanza. Dalam benaknya, apakah pemilik Toyota Avanza (termasuk dirinya) senarsis itu? Apakah pemilik Toyota Avanza adalah kelompok masyarakat yang begitu desperate dalam mencari pengakuan atas status sosial hingga harus memajang semua bukti “prestasi”-nya di kaca belakang mobil mereka?
Saya bukan pembuat kartun tersebut, juga bukan kawan dekatnya. Jadi, saya tidak tahu apakah si pembuat kartun hanya kebetulan memilih mobil Toyota Avanza sebagai model (karena mudah digambar, mungkin?), ataukah karena dia adalah salah satu pemilik Avanza (menyindiri diri sendiri?), ataukah karena memang mobil yang kaca belakangnya “paling penuh stiker” adalah si “kembaran”-nya Xenia itu.
Namun bagaimana pun, tetap menarik membincangkan tema ini karena ia adalah cermin masyarakat.
Di Indonesia, mobil masih merupakan lambang status. Maklum, dari 240-an juta warga negeri kepulauan ini, masih kecil sekali persentase mereka yang memiliki mobil. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hingga 2010 terdapat total 15.828.939 unit mobil yang dimiliki warga Indonesia. Angka ini sudah termasuk bus, truk, dan semua jenis kendaraan niaga. Perlu diingat, mereka yang bisa membeli mobil, biasanya tak puas hanya beli satu unit. Sebuah keluarga bisa memiliki lebih dari 3 mobil. Jadi, bisa dibayangkan betapa sedikitnya jumlah warga negara Indonesia yang memiliki mobil. Karena kebanyakan warga tak bisa membeli mobil, maka mereka yang memiliki kendaraan roda empat ini pun status sosialnya terangkat.
Seperti diakui produsennya sendiri (baca http://www.astra-toyota.com/2012/04/mobil-mobil-terlaris-di-indonesia-2012.html), Avanza adalah varian dengan tingkat penjualan tertinggi. Bukan hanya tahun 2012 ini, namun sejak pertama kali ia diluncurkan. Selain banyak faktor lain yang turut menentukan, Avanza menjadi mobil terlaris tentu tak lepas dari harganya yang relatif terjangkau. Artinya, sori-sori kata, mereka yang uang lebihnya tak terlalu banyak, akan cenderung memilih beli Avanza. Yah, daripada harus numpuk sepeda motor atau nabung lagi untuk dapat sedan?
Artinya, mereka yang membeli Avanza sebagai mobil pertamanya, bisa jadi adalah kelompok yang baru saja “naik kelas”. Mereka baru saja diwisuda, dari warga “biasa” menjadi anggota “orang kaya”. Hanya saja, mereka ada di level (maaf) “terendah” dari kelompok barunya ini. Mereka yang baru saja masuk ke lingkar sosial yang lebih tinggi, biasanya memiliki kekhawatiran bahwa orang lain tak mengakuinya di kelasnya yang baru. Mereka selalu “galau” bahwa dirinya akan tetap dipandang sebagai bagian dari kelas sosial yang lebih rendah dari mana mereka merasal. Ini bukan asumsi saya, tapi kesimpulan sebuah studi akademis yang diakukan antropolog Inggris,  Kate Fox (silakan kenali dirinya lebih dekat melalui http://www.sirc.org/about/kate_fox.html). Selama 10 tahun Fox meneliti masyarakatnya sendiri, orang Inggris, untuk melihat bagaimana bangsa ini berperilaku. Salah satu kesimpuannya, orang yang baru masuk ke suatu kelas tertentu biasanya akan merasa “insecure”. Karena itu, mereka cenderung melakukan upaya-upaya tambahan untuk memperkuat pengakuan atas status sosialnya yang baru tersebut. Dalam kalimat yang lebih gamblang, mereka adalah orang kaya baru yang “belum sepenuhnya aman” dalam menyandang predikat tersebut. Karena itu, mereka perlu menunjukkan “bukti-bukti lain” yang bisa memperkuat posisi mereka sebagai “orang kaya”. Dalam konteks bahasan kita, memamerkan tempat wisata yang pernah mereka kunjungi, perguruan tinggi atau sekolah hebat yang pernah mereka masuki, atau produk bergengsi yang mereka beli di kaca belakang mobil adalah salah satu upaya untuk memperkuat posisi sebagai “orang kaya” tersebut.
Kenapa mereka yang memiliki Ferrari atau Porcshe, atau katakanlah sesama Toyota tapi Vellfire, tidak banyak memajang stiker di kaca belakang mobilnya? Jawabannya gamblang sekali: pemilik mobil-mobil itu sudah jelas kaya. Mereka, merujuk kepada Fox lagi, adalah orang-orang yang sudah sedemikian aman di dalam tingkat sosial mereka.
Lantas, apa beda orang kaya yang “secure” di dalam tingkat sosialnya dan orang kaya baru yang masih “insecure”?
Bila pemilik Avanza makan di warteg, dia akan dibilang “ngirit”. Kalau pemilik Vellfire yang makan di warteg, mereka akan disebut “rindu masakan tradisional yang lama tak dijamahnya”.
Kalau pemilik Avanza pakai sandal jepit butut, dia akan digunjing: “paling cicilan mobilnya juga belum lunas”. Kalau pemilik Ferrari yang pakai sandal jepit butut, dia akan disebut “nyentrik”.
Kalau bagian dalam Avanza penuh barang dan pakaian hingga terlihat tidak rapi, pemiliknya akan dituding “jorok”. Bila Porsche yang bagian dalamnya tidak rapi, pemiliknya akandimaklumi sebagai orang “sibuk”.
Kita, manusia, memang makhluk yang selalu sibuk berasumsi dan menilai. Di Inggris, seperti dikatakan Fox, tindik (piercing) adalah juga lambang status sosial. Mereka yang bertindik di lidah, sudah pasti berasal (atau setidaknya dicap) dari lower class, atau lebih parah lagi: working class. Tapi, bukanlah Princess Zara (cucu Ratu Elizabeth II dari Putri Anne) dan Mel B, mantan personel Spice Girls juga memiliki tindik di lidah? Apakah keduanya termasuk working class? Tentu tidak. Keduanya hanya disebut, well, nyentrik. Dunia memang tak adil, bukan? 🙂
Ya, mobil memang sarana bagi sebagian manusia untuk menyiarkan status sosialnya.  Mobil, bagi manusia lainnya, adalah sarana untuk menancapkan stigma, asumsi, dan labelisasi. Tapi, tentu Anda tak perlu mencopoti stiker-stiker yang telanjur tertempel di belakang Avanza –atau merek mobil apapun– milik Anda setelah membaca artikel ini. Biarkan orang lain sibuk berasumsi, yang penting Anda menempelkan stiker di mobil Anda sendiri. Kalau nempel stiker di mobil orang lain, itu lancang namanya, hahaha. (*)