Archive

Tag Archives: symbol

Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra. Ia menjadi salah satu cara pengungkapan perasaan sekaligus pemikiran dari sang penyair. Sebagian puisi lebih kental unsur perasaannya (kesedihan, syukur, dll), ada pula yang lebih kuat unsur pemikirannya (protes, kritik, dll). Namun secara umum, puisi adalah gabungan keduanya.

Karena puisi terdiri dari kalimat-kalimat dan kata-kata yang simbolik, maka “membaca” (memahami) puisi tak semudah membaca/memahami cerita pendek atau novel. Pembaca harus lebih dulu mencoba “memaknai” masing-masing kata atau kalimat simbolik tersebut, barulah ia bisa “membongkar” arti yang terkandung dalam puisi tersebut. Dengan catatan, hasil “pembongkaran” atau “pemaknaan” kita belum tentu sama dengan yang dimaksud oleh penyair. Tapi ini wajar dan sah-sah saja. Ketika puisi/cerpen/novel/atau karya apa pun sudah dilempar ke publik, ia sudah “terlepas” dari si penulis. Ia menjadi “teks” atau “pesan” yang bisa dimaknai oleh siapa pun dengan makna nyaris apa pun.

Berikut contoh memaknai puisi:

Lelaki dan Bocah
: Untuk P. Suwan dan Oni

Lelaki dengan bocah di bahunya (ini bisa simbolik, bisa juga hanya ikon atau fragmen menarik untuk mengikat pembaca)

pematang itu ia tebas

lipat waktu dalam bening mata bocah itu (menggunakan kata “pematang” karena inspirasinya petani. Namun pematang juga bisa diartikan: jalan –> jalan hidup. Ia tebas = dilalui, dihadapi –> demi sang anak)

Lelaki dan bocah pada pantai parak senja (penanda waktu, juga menimbulkan kesah syahdu)

langkah mereka adalah mata istri teduh menyala (hidup suami dan anak adalah hidup istri)

dan kala lokan, keong dan pasir pantai menyapa matanya, (ibarat, menemukan hal-hal baru)

bocah itu tersenyum

ayahnya menuliskan kata baru dalam notesnya (setiap menemui hal baru, ayah “mengajarkan” artinya pada sang anak, sang anak menerima –dan bisa protes—atas yang diajarkan ayahnya tsb)

Lelaki dengan bocah yang dipanggulnya (fragmen saja)

bumi ia bagi dalam alinea yang dipahami anaknya (hidup diajarkan secara bertahap)

lalu embun dan matahari (pernik kehidupan, yang sukar dan yang mudah)

juga mawar dan badai (pernik kehidupan, yang baik dan yang buruk)

tercatat dalam mata bocah yang

dipanggulnya melintasi telaga dan samudera (aneka riak kehidupan selalu dicatat oleh sang anak yang terus dididik oleh sang ayah, melintasi tantangan hidup, baik tantangan yang kecil (telaga) maupun tantangan yang besar (samudera))

Lelaki dan bocah pada bayang ombak berdeburan (fragmen)

terpaku mereka pada layar dan dermaga yang ditinggalkan (selalu ada masa lalu yang pergi, orang-orang terkasih yang pergi)

bercakap mereka dalam bayang pulau di kejauhan (melihat masa depan, mereka-reka kehidupan masa mendatang)

mata mereka lekat pada lampu kapal, juga bulan

yang menyembul perlahan (lampu kapal, bulan –> selalu ada petunjuk dalam mengarungi hidup)

Lelaki dengan bocah di bahunya

satu demi satu ia bukakan halaman buku anaknya (ayah membuka / memberi tahu/ mengajarkan tahap-tahap kehidupan)

Lelaki dengan bocah dalam sketsa pantai senja

Dunia

itu alinea yang terus dituliskannya (dunia alias kehidupan adalah “buku” yang tak henti kita baca maupun kita tulisi, harus terus menerus dipahami)

Achmad Supardi, 25 Januari 2013